Kajian Tasawwuf : Kitab HIKAM
Kerapian sistem sebab musabab menyebabkan manusia terikat kuat dengan hukum sebab-akibat. Manusia bergantung kepada amal (sebab) dalam mendapatkan hasil (akibat). Manusia yang melihat kepada kehebatan sebab dalam menentukan akibat serta bersandar dengannya dinamakan ahli asbab.
Sebagai manusia yang hidup dalam dunia mereka masih bergerak dalam arus sebab musabab tetapi mereka tidak meletakkan kehebatan hukum kepada sebab. Mereka senantiasa melihat kekuasaan Allah yang menetapkan atau mencabut kehebatan pada sesuatu hukum sebab-akibat. Jika sesuatu sebab berhasil mengeluarkan akibat menurut yang biasa terjadi, mereka melihatnya sebagai kekuasaan Allah yang menetapkan kekuatan kepada sebab tersebut dan Allah juga yang mengeluarkan akibatnya.
Allah swt berfirman:
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
لَهُۥ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ يُحْىِۦ وَيُمِيتُ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
فَقُلْنَا ٱضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا ۚ كَذَٰلِكَ يُحْىِ ٱللَّهُ ٱلْمَوْتَىٰ وَيُرِيكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya :Orang
yang melihat kepada kekuasaan Allah s.w.t merajai hukum sebab-akibat
tidak meletakkan kehebatan kepada hukum tersebut. Ketergantungannya
kepada Allah, tidak kepada amal yang menjadi sebab. Orang yang
seperti ini dipanggil ahli tajrid.
Ahli tajrid, seperti juga ahli asbab, melakukan sesuatu menurut peraturan sebab-akibat. Ahli tajrid juga makan dan minum Ahli tajrid memanaskan badan dan memasak dengan menggunakan api juga. Ahli tajrid juga melakukan sesuatu pekerjaan yang berhubung dengan rezekinya. Tidak ada perbedaan di antara amal ahli tajrid dengan amal ahli asbab. Perbedaannya terletak di dalam diri yaitu hati. Ahli asbab melihat kepada kekuatan hukum alam. Ahli tajrid melihat kepada kekuasaan Allah s.w.t pada hukum alam itu. Walaupun ahli asbab mengakui kekuasaan Allah tetapi penghayatan dan kekuatannya pada hati tidak sekuat ahli tajrid.
Dalam melakukan kebaikan ahli asbab perlu melakukan mujahadah. Mereka perlu memaksa diri mereka berbuat baik dan perlu menjaga kebaikan itu agar tidak menjadi rusak.
Ahli asbab perlu memperingatkan dirinya supaya berbuat ikhlas dan perlu melindungi keikhlasannya agar tidak dirusakkan oleh riak (berbuat baik untuk diperlihatkan kepada orang lain agar dia dikatakan orang baik), takabur (sombong dan membesar diri, merasakan diri sendiri lebih baik, lebih tinggi, lebih kuat dan lebih cerdik dari orang lain) dan sama’ah (membawa perhatian orang lain kepada kebaikan yang telah dibuatnya dengan cara bercerita mengenainya, agar orang mengakui bahwa dia adalah orang baik).
Jadi...., ahli asbab perlu memelihara kebaikan sebelum melakukannya dan juga selepas melakukannya. Suasana hati ahli tajrid berbeda dari apa yang dialami oleh ahli asbab.
Jika ahli asbab memperingatkan dirinya supaya ikhlas, ahli tajrid tidak melihat kepada ikhlas karena mereka tidak bersandar kepada amal kebaikan yang mereka lakukan. Apa juga kebaikan yang keluar dari mereka diserahkan kepada Allah yang mengaruniakan kebaikan tersebut.
Ahli tajrid tidak perlu menentukan perbuatannya ikhlas atau tidak ikhlas. Melihat keihklasan pada perbuatan sama dengan melihat diri sendiri yang ikhlas. Apabila seseorang merasakan dirinya sudah ikhlas, padanya masih tersembunyi keegoan diri yang membawa kepada riak, ujub (merasakan diri sendiri sudah baik) dan sama’ah.
Apabila tangan kanan berbuat ikhlas dalam keadaan tangan kiri tidak menyadari perbuatan itu barulah tangan kanan itu benar-benar ikhlas. Orang yang ikhlas berbuat kebaikan dengan melupakan kebaikan itu. Ikhlas sama seperti harta benda. Jika seorang miskin diberi harta oleh jutawan, orang miskin itu malu menepuk dada kepada jutawan itu dengan mengatakan yang dia sudah kaya.
Orang tajrid yang diberi ikhlas oleh Allah mengembalikan kebaikan mereka kepada Allah. Jika harta orang miskin itu hak si jutawan tadi, ikhlas orang tajrid adalah hak Allah.
Jadi..., orang asbab bergembira karena melakukan perbuatan dengan ikhlas, orang tajrid pula melihat Allah yang mentadbir sekalian urusan.
(Ahli asbab dibawa kepada syukur, ahli tajrid berada dalam penyerahan.)
Kebaikan yang dilakukan oleh ahli asbab merupakan teguran agar mereka ingat kepada Allah yang memimpin mereka kepada kebaikan.
Kebaikan yang dilakukan oleh ahli tajrid merupakan karunia Allah kepada kumpulan manusia yang tidak memandang kepada diri mereka dan kepentingannya.
Ahli asbab melihat kepada kehebatan hukum sebab-akibat. Ahli tajrid pula melihat kepada kehebatan kekuasaan dan ketentuan Allah. Dari kalangan ahli tajrid, Allah s.w.t memilih sebagiannya dan meletakkan kekuatan hukum pada mereka.
Kumpulan ini bukan
sekadar tidak melihat kepada kehebatan hukum sebab-akibat, malah mereka
berkekuatan menguasai hukum sebab-akibat itu. Mereka adalah nabi-nabi dan
wali-wali pilihan. Nabi-nabi dianugerahkan mukjizat dan wali-wali dianugerahkan
kekaromahan. Mukjizat dan kekaromahan merombak kehebatan hukum sebab-akibat.
Di dalam kumpulan wali-wali pilihan yang dikaruniakan kekuatan mengawal hukum sebab-akibat itu terdapatlah orang-orang seperti Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, Abu Hasan as-Sazili, Rabiatul Adawiah, Ibrahim Adham dan lain-lain.
Cerita tentang kekaromahan mereka sering diperdengarkan. Orang yang cenderung kepada Thoriqoh tassawuf gemar menjadikan kehidupan aulia Allah tersebut sebagai contoh, dan yang mudah memikat perhatian adalah bagian kekaromahan.
Kekaromahan biasanya dikaitkan dengan perilaku kehidupan yang zuhud dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah . Timbul anggapan bahwa jika mau memperoleh kekaromahan seperti mereka mestilah hidup sebagaimana mereka.
Orang yang berada pada peringkat permulaan berThoriqoh cenderung untuk memilih jalan bertajrid yaitu membuang segala ikhtiar dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah. Sikap melulu bertajrid membuat seseorang meninggalkan pekerjaan, isteri, anak-anak, masyarakat dan dunia seluruhnya. Semua harta disedekahkan karena dia melihat Sayidina Abu Bakar as-Siddik telah berbuat demikian.
Ibrahim bin Adham telah meninggalkan takhta kerajaan, isteri, anak, rakyat dan negerinya lalu tinggal di dalam gua. Biasanya orang yang bartindak demikian tidak dapat bertahan lama. Kesudahannya dia mungkin meninggalkan kumpulan Thoriqohnya dan kembali kepada kehidupan duniawi. Ada juga yang kembali kepada kehidupan yang lebih buruk dari keadaannya sebelum berThoriqoh dahulu karena dia mau menebus kembali apa yang telah ditinggalkannya dahulu untuk berThoriqoh.
Keadaan yang demikian berlaku akibat bertajrid secara melulu. Orang yang baru masuk ke dalam bidang latihan kerohanian sudah mau beramal seperti aulia Allah yang sudah berpuluh-puluh tahun melatihkan diri.
Tindakan meninggalkan semua yang dimilikinya secara tergesa-gesa membuatnya berhadapan dengan bayangan dan dugaan yang menggoncangkan imannya dan mungkin juga membuatnya berputus-asa. Apa yang harus dilakukan bukanlah meniru kehidupan aulia Allah yang telah mencapai maqom yang tinggi secara melulu. Seseorang haruslah melihat kepada dirinya dan mengenal pasti kedudukannya, kemampuanya dan daya-tahannya.
Ketika masih di dalam maqom asbab seseorang
haruslah bartindak sesuai dengan hukum sebab-akibat. Dia harus bekerja untuk
mendapatkan rezekinya dan harus pula berusaha menjauhkan dirinya dari bahaya
atau kemusnahan.
Ahli asbab perlu berbuat demikian karena dia masih lagi terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dia masih lagi melihat bahwa tindakan makhluk berdampak kepada dirinya. Oleh yang demikian adalah wajar sekiranya dia mengadakan juga tindakan yang menurut pandangannya akan mendatangkan kesejahteraan kepada dirinya dan orang lain.
Tanda Allah meletakkan seseorang pada kedudukan sebagai ahli asbab ialah apabila urusannya dan tindakannya yang menurut kesesuaian hukum sebab-akibat tidak menyebabkannya mengabaikan kewajiban terhadap tuntutan agama. Dia tetap merasa rengan untuk berbakti kepada Allah, tidak gelojoh dengan nikmat duniawi dan tidak merasa iri hati terhadap orang lain. Apabila ahli asbab berjalan menurut hukum asbab maka jiwanya akan maju dan berkembang dengan baik tanpa menghadapi kegoncangan yang besar yang menyebabkan dia berputus asa dari rahmat Allah. Rohaninya akan menjadi kuat sedikit demi sedikit dan menolaknya ke dalam maqom tajrid secara selamat. Akhirnya dia mampu untuk bertajrid sepenuhnya.
Ada pula orang yang dipaksa oleh takdir supaya bertajrid. Orang ini asalnya adalah ahli asbab yang berjalan menurut hukum sebab-akibat sebagaimana orang banyak.Makhluk Allah seperti burung, ikan, kuman dan sebagainya tidak memiliki tempat simpanan makanan. Mereka adalah ahli tajrid yang dijamin rezeki mereka oleh Allah. Jaminan Allah itu meliputi juga bangsa manusia.
Tanda Allah meletakkan seseorang hamba-Nya di dalam maqom tajrid ialah Allah memudahkan baginya rezeki yang datang dari arah yang tidak diduganya. Jiwanya
tetap tentram sekalipun terjadi kekurangan pada rezeki atau ketika
menerima bala’ ujian.
Sekiranya ahli tajrid sengaja memindahkan dirinya kepada maqom asbab maka ini berarti dia melepaskan jaminan Allah lalu bersandar kepada makhluk.
Ini menunjukkan akan kejahilannya tentang rahmat dan kekuasaan Allah. Tindakan yang jahil itu menyebabkan berkurangan atau hilang terus keberkahan yang Allah karuniakan kepadanya.
Seorang ahli tajrid yang tidak mempunyai sembarang pekerjaan kecuali membimbing orang banyak kepada jalan Allah, walaupun tidak mempunyai sembarang pekerjaan namun, rezeki datang kepadanya dari berbagai-bagai arah dan tidak pernah putus tanpa dia meminta-minta atau mengharap-harap.
Pengajaran yang disampaikan kepada
murid-muridnya sangat berdampak sekali. Keberkahannya amat kentara seperti
makbul doa dan ucapannya biasanya menjadi kenyataan. Andainya dia meninggalkan
suasana bertajrid lalu berasbab karena tidak puas hati dengan rezeki yang
diterimanya maka keberkahannya akan terbuang. Pengajarannya, doanya dan
ucapannya tidak seberdampak dahulu lagi. Ilham yang datang kepadanya
tersekat-sekat dan kefasihan lidahnya tidak selancar biasa.
Seseorang
hamba haruslah menerima dan ridho dengan kedudukan yang Allah karuniakan
kepadanya. Berserahlah kepada Allah dengan yakin bahwa Allah Maha
Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah tahu apa yang patut bagi setiap
makhluk-Nya. Allah sangat bijak mengatur urusan hamba-hamba-Nya.
Keinginan kepada pertukaran maqom merupakan tipu daya yang sangat halus. Di dalamnya tersembunyi rangsangan nafsu yang sukar disadari.
Nafsu di sini merangkum kehendak, cita-cita dan angan-angan. Orang yang baru terbuka pintu hatinya setelah lama hidup di dalam kelalaian, akan mudah tergerak untuk meninggalkan suasana asbab dan masuk ke dalam suasana tajrid.
Orang yang telah lama berada dalam suasana tajrid, apabila kesadaran dirinya kembali sepenuhnya, ikut kembali kepadanya adalah keinginan, cita-cita dan angan-angan.
Nafsu mencoba untuk bangkit menguasai dirinya. Orang asbab perlulah menyadari bahwa keinginannya untuk berpindah kepada maqom tajrid itu mungkin secara halus digerakkan oleh ego diri yang tertanam jauh dalam jiwanya.
Orang tajrid pula perlu sadar keinginannya untuk kembali kepada asbab itu mungkin didorong oleh nafsu rendah yang masih belum berpisah dari hatinya.
Ulama tassawuf
mengatakan seseorang mungkin dapat mencapai semua maqom nafsu, tetapi nafsu
peringkat pertama tidak kunjung padam. Oleh yang demikian perjuangan atau mujahadah
mengawasi nafsu senantiasa berjalan.
Semoga Bermanfaat...
Ojo lali
#follow #coment #share




